Perlukah aku menyimpan seurat janggut putihmu,
Untuk azimat syirik kemerduan tulisanku?
Sosokmu ku puja,
tapi sebenarnya aku tak pernah ngerti -- terbodoh dan tertuli.
Pinjamkan aku hikmat,
redhakan aku mitasi tiap lenggok katamu yang murni,
agar baitku kembali bernyawa lagi.
Di celah-celah bangunan buku,
Dan lemari-lemari masif gedung ilmu,
Disitu-aku terlihat kau diam menekuni,
Berjalan, berhenti, berjalan dan terhenti.
Sungguh,
aku terkenang karya agungmu "Dalam Librari",
dan aku senyum sendiri.
Anak kecil ini tiada jiwa berani untuk dekati.
Aku tak sepertimu,
yang masih bernafas sebelum dan selepas kolonial datang dan pulang,
yang masih erat menggenggam pensil walau telah bengkak jarimu diketuk,
aku juga tak pernah mensyahdukan apa-apa sebelum bangsa kita dungu kembali.
Sungguh,
aku terlalu ingin memelukmu,
menyantunimu sebagai cucu bangsamu,
Namun bila ku pandang semula di tempat kau berdiri tadi,
kau telah hilang dan pergi.
Lantas puisimu ku baca lagi.
No comments:
Post a Comment