Bayangkan kau sebagai sosok yang terkenal dan dikagumi ramai,
Bayangkan kau seorang terpelajar dengan sekurangnya pemegang sarjana,
Bayangkan kau sentiasa mempesona orang dengan tuturan kau yang merdu,
Bayangkan kau memandu kereta yang mampu kau bayar lebih RM600 sebulan,
Bayangkan kau bergaji tinggi sebagai golongan professional dalam masyarakat,
Bayangkan kau membesar dalam sebuah famili yang terampil dan murni,
Bayangkan kau bijak meramah dan tiada apa yang jelek tentang sifatmu,
Bayangkan kau bertubuh langsing, tegap, kurus dan sasa,
Bayangkan kau berasa indah di hadapan cermin dan maunya tampil di hadapan orang,
Bayangkan kau cantik,
Bayangkan kau bijak,
Bayangkan kau kaya.
Bayangkan.
Mesti dia sukakan kau,
kan?
Kita ini insan-insan kelakar.
Friday, 29 November 2013
Wednesday, 13 November 2013
Pensyahdu Aksara
Perlukah aku menyimpan seurat janggut putihmu,
Untuk azimat syirik kemerduan tulisanku?
Sosokmu ku puja,
tapi sebenarnya aku tak pernah ngerti -- terbodoh dan tertuli.
Pinjamkan aku hikmat,
redhakan aku mitasi tiap lenggok katamu yang murni,
agar baitku kembali bernyawa lagi.
Di celah-celah bangunan buku,
Dan lemari-lemari masif gedung ilmu,
Disitu-aku terlihat kau diam menekuni,
Berjalan, berhenti, berjalan dan terhenti.
Sungguh,
aku terkenang karya agungmu "Dalam Librari",
dan aku senyum sendiri.
Anak kecil ini tiada jiwa berani untuk dekati.
Aku tak sepertimu,
yang masih bernafas sebelum dan selepas kolonial datang dan pulang,
yang masih erat menggenggam pensil walau telah bengkak jarimu diketuk,
aku juga tak pernah mensyahdukan apa-apa sebelum bangsa kita dungu kembali.
Sungguh,
aku terlalu ingin memelukmu,
menyantunimu sebagai cucu bangsamu,
Namun bila ku pandang semula di tempat kau berdiri tadi,
kau telah hilang dan pergi.
Lantas puisimu ku baca lagi.
Untuk azimat syirik kemerduan tulisanku?
Sosokmu ku puja,
tapi sebenarnya aku tak pernah ngerti -- terbodoh dan tertuli.
Pinjamkan aku hikmat,
redhakan aku mitasi tiap lenggok katamu yang murni,
agar baitku kembali bernyawa lagi.
Di celah-celah bangunan buku,
Dan lemari-lemari masif gedung ilmu,
Disitu-aku terlihat kau diam menekuni,
Berjalan, berhenti, berjalan dan terhenti.
Sungguh,
aku terkenang karya agungmu "Dalam Librari",
dan aku senyum sendiri.
Anak kecil ini tiada jiwa berani untuk dekati.
Aku tak sepertimu,
yang masih bernafas sebelum dan selepas kolonial datang dan pulang,
yang masih erat menggenggam pensil walau telah bengkak jarimu diketuk,
aku juga tak pernah mensyahdukan apa-apa sebelum bangsa kita dungu kembali.
Sungguh,
aku terlalu ingin memelukmu,
menyantunimu sebagai cucu bangsamu,
Namun bila ku pandang semula di tempat kau berdiri tadi,
kau telah hilang dan pergi.
Lantas puisimu ku baca lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)