Bisik-bisik dari celah dindingan,
menggetarkan aku.
Tentang perkara yang tak terjelaskan -- ngeri,
jembalang syaitan, apa yang kau bincangkan?
Sayup azan pertama satu ramadhan,
melupuskan segala suara misteri,
tiba-tiba aku berdiri jadi pemberani.
Kusangka mereka habis digari senja tadi.
Botol-botol kosong,
kertas-kertas dicacak melambai ditari angin,
gitar-gitar bergelimpangan,
tidak selera dicabul sepanjang tiga puluh hari lagi,
semuanya bersinar dipancar mentari pagi
dari jendela yang berdentangan kuali warung Cina dibawah.
Aromanya kadang menggoda -- terjeluak aku menyangka itu mungkin babi.
Kemanisan malam aku merasa,
dengan juadah serba sederhana,
dan terawih berkah pada musolla Pulau Sebang,
menapak ditemani langit dingin yang tenang.
Wajah-wajah tua yang menjeling,
kipas usang yang merengek berputar,
karpet keras tempat dahiku mencium,
dan moreh cuma bercangkiran teh.
"Anak siapa?", dia bertanya.
"Bukan orang sini.", aku berkata.
Dan dalam senyum tawar,
aku tahu dalam hatinya, "Anak muda ini telah lama hilang.."
Aku hirup kembali teh panas itu dengan mata bundar,
apakah aku ini terlalunya lut sinar..
Jauh mana telah aku menyimpang,
dari segala keindahan nian,
dari kemanisan budi keharuman kasturi,
pemisahnya tidak pernah lebih dua belas bulan.
Jika ditanya adakah dalam jiwa ini ada rindu,
aku kata -- biarkan aku dengan Tuhanku.
No comments:
Post a Comment